Suku dan Kebudayaan Asli Kota Ketapang Kal-Bar - MATERI PENDIDIKAN

Blog berisikan tentang materi pendidikan baik secara umum maupun khusus

Breaking

ADS 1

.

Adsense

Monday, 6 April 2015

Suku dan Kebudayaan Asli Kota Ketapang Kal-Bar

Kota Ketapang
Berbagai macam adat istiadat yang ada di indonesia ini baik dari sabang sampai marauke, begitu halnya dengan kabupaten ketapang yang terletak di propinsi Kalimantan Barat. Kali ini saya akan memperkenalkan mengenai suku dan budaya asli yang ada di Ketapang itu sendiri yaitu suku melayu dan suku dayak. Tanpa berpanjang lebar lagi silahkan di baca.

Suku dan Kebudayan Melayu Kayong Ketapang
Suku Melayu Kayong hidup di sekitar wilayah pantai, pulau-pulau kecil, dan pedalaman hutan di Ketapang. Dari kehidupan ini, terlihat kedekatan mereka dengan alam.               

Orang Melayu Kayung memiliki sejarah asal-usul yang unik. Menurut M. Dardi D. Has (2008) dalam buku Kebudayaan, Adat Istiadat, dan Hukum Adat Melayu Ketapang, mereka adalah keturunan campuran dari Jawa (Prabu Jaya), Palembang (Sang Maniaka), Bugis (Daeng Manambon), Berunai (Raja Tengah), dan Siak (Tengku Akil).  

Menurut asal-usul di atas, terlihat kebudayaan orang Melayu Kayung menjadi agak berbeda dengan masyarakat Ketapang pada umumnya. Meskipun mayoritas Islam, namun orang Melayu Kayung banyak mengadopsi ritual keyakinan lainnya, misalnya dalam upacara adat sunatan mereka membaca mantra-mantra dan meletakkan sesaji tertentu di sela-sela pembacaan Al quran. Mereka juga masih mempercayai pantangan-pantangan tertentu yang disebut pantang penti dan pamali.
Realitas ini menarik untuk dikaji lebih lanjut karena orang Melayu Kayung yang mayoritas muslim ternyata melakukan adat-istiadat yang di kalangan muslim pada umumnya ditolak.

Adat Terhadap Anak Perempuan            
Orang Melayu Kayung memiliki tradisi unik sehubungan dengan anak perempuan. Seperti umumnya anak laki-laki yang disunat, maka demikian pula halnya dengan anak perempuan. Tentu saja cara sunat anak perempuan berbeda dengan laki-laki. Sunat ini bertujuan untuk menyucikan anak perempuan dari beberapa “kekotoran” yang dibawa dari lahir. Sunat perempuan juga ditujukan agar dijauhkan dari penyakit.      

Sunat untuk anak perempuan adalah tradisi leluhur yang dilakukan ketika anak masih berumur kurang lebih 7-10 bulan. Sunat perempuan dilakukan oleh dukun atau bidan yang sudah ahli dan tidak boleh diwakilkan kepada orang lain.               

Selain sunat, ketika anak perempuan menginjak umur 8-9 tahun, diadakan ritual mandi susu. Ritual ini lazimnya digelar bersamaan dengan mandi pengantin saudara perempuan sang anak, yaitu waktu pengantin melaksanakan ritual mandi tiga malam. Sang anak akan didandani seperti halnya pengantin. Adat ini merupakan inisiasi saat sang anak menginjak dewasa (masa peralihan). Ritual ini juga digelar saat seorang anak perempuan hamil tujuh bulan.
               
Satu lagi adat terhadap anak perempuan Melayu Kayung adalah belamin. Belamin atau lamin adalah ritual untuk anak perempuan bangsawan saat datang bulan pertama kali. Selama beberapa waktu, anak ditempatkan di dalam kamar (lamin) tertutup dan tidak boleh terkena sinar matahari. Di dalam lamin, sang anak melakukan bekase, yaitu membedaki dirinya sendiri dengan bedak buatan sendiri. Ritual ini memiliki makna agar anak pintar berhias dan percaya diri, khususnya untuk keluarga dan suaminya kelak.       

Selama di dalam lamin, sang anak juga diajarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kewanitaan. Setelah selesai waktunya, diadakan ritual turun lamin, yaitu si anak perempuan dikeluarkan dari lamin, setelah itu ia dianggap sudah siap menuju dewasa dan siap menikah.

Tetambe dan Kesambat              
Selain adat terhadap perempuan, orang Melayu Kayung juga memiliki tradisi tetambe dan kesambat. Tetambe merupakan sistem pengobatan tradisional orang Melayu Kayung. Tetambe juga menjadi tradisi yang sakral dan unik dalam kehidupan mereka karena adanya akulturasi budaya yang dinamis antara kebudayaan Melayu dengan Jawa, Islam, dan Cina. Hal itu dapat dilihat dari perpaduan antara cara pengobatan dan mantra-mantra yang digunakan.               

Orang Melayu Kayung juga mengenal istilah kesambat, yaitu penyakit akibat dirasuki makhluk halus. Kesambat biasanya akan diderita orang ketika berada di hutan. Penyakit ini hanya bisa diobati dengan tetambe dan mantra-mantra dari dukun. Mantra tetambe terbilang unik karena dilantunkan layaknya pantun.
Berikut adalah salah satu mantra tetambe:         
tetak kayu di hutan       
tetak kuparas   
aku menjampi kesambat orang di hutan             
mintak nyaman mintak waras  


Jasa para dukun masih dianggap penting dalam kehidupan orang Melayu Kayung hingga sekarang, meskipun sudah terdapat pelayanan medis yang lebih modern. Tetambe berupa ramuan tradisional dan mantra terkadang lebih dipercaya daripada resep dokter. Apalagi mantra itu menggunakan bahasa Arab atau diambil dari ayat Al quran.             
Suku dan Kebudayaan Dayak Ketapang
Suku Dayak di Kalimantan memiliki sistem kepercayaan yang kompleks dan sangat berkembang (Alqadrie, 1987). Kompleksitas sistem kepercayaan tersebut di dasarkan pada tradisi dalam masyarakat Dayak yang mengandung dua prinsip yaitu: (1) unsur kepercayaan nenek moyang (ancestral belief) yang meneknkan pada pemujaan nenek moyang, dan (2) kepercayaan terhadap Tuhan yang satu (the one God) dengan kekuasaan tertinggi dan merupkan suatu prima causa dari kehidupan manusia (Alqadrie, 1990).

Peneliti Institut Dayakologi, Sujarni Aloy dan kawan-kawannya (Sujarni Aloi, dkk 1997), meneliti ada 50 bahasa Dayak di Ketapang, yaitu:
  1. Bahasa Dayak Kualatn
  2. Bahasa Mali
  3. Bahasa Kancikng
  4. Bahasa Cempede’
  5. Bahasa Semandakng
  6. Bahasa Sajan
  7. Bahasa Banjur
  8. Bahasa Gerai
  9. Bahasa Baya
  10. Bahasa Laur
  11. Bahasa Joka’
  12. Bahasa Domit
  13. Bahasa Pawatn
  14. Bahasa Krio
  15. Bahasa Konyeh
  16. Bahasa Biak
  17. Bahasa Beginci
  18. Bahasa Tumbang Pauh
  19. Bahasa Gerunggang
  20. Bahasa Kayong
  21. Bahasa Majau
  22. Bahasa Pangkalan Suka
  23. Bahasa Kebuai
  24. Bahasa Tola’
  25. Bahasa Marau
  26. Bahasa Batu Tajam
  27. Bahasa Kengkubang
  28. Bahasa Pesaguan Hulu
  29. Bahasa Kendawangan
  30. Bahasa Pesaguan Kanan
  31. Bahasa Kekura’
  32. Bahasa Lemandau
  33. Bahasa Tanjung
  34. Bahasa Benatuq
  35. Bahasa Sumanjawat
  36. Bahasa Tembiruhan
  37. Bahasa Penyarangan
  38. Bahasa Parangkunyit
  39. Bahasa Perigiq
  40. Bahasa Riam
  41. Bahasa Belaban
  42. Bahasa Batu Payung
  43. Bahasa Pelanjau
  44. Bahasa Membuluq
  45. Bahasa Dayak Menggaling
  46. Bahasa Air Upas
  47. Bahasa Sekakai
  48. Bahasa Air Durian
  49. Bahasa Sempadian
Suku Dayak sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki adat-istiadat dan hukum adat tersendiri. Ketentuan-ketentuan yang merupakan pedoman hidup bagi warganya, ada yang mengandung sanksi, dan ada yang tidak. Yang tidak mengandung mengandung sanksi adalah kebiasaan atau adat istiadat, namun yang melanggar akan dicemooh, karena adat merupakan pencerminan kepribadian dan penjelmaan dari jiwa mereka secara turun temurun. Sedangkan yang mengandung sanksi adalah hukum yang terdiri dari norma-norma kesopanan, kesusilaan, ketertiban sampai pada norma-norma keyakinan atau kepercayaan yang dihubungkan dengan alam gaib dan sang pencipta. Norma-norma itu disebut hukum adat. 

Sistem kekarabatan pada orang Dayak pada adalah bersifat bilateral atau parental. Anak laki-laki maupun perempuan mendapat perlakuan yang sama, begitu juga dalam pembagian warisan pada dasarnya juga tidak ada perbedaan, artinya tidak selamanya anak-laki mendapat lebih banyak dari anak perempuan, kecuali yang tetap tinggal dan memelihara orang tua hingga meninggal, maka mendapat bagian yang lebih bahkan kadang seluruhnya. Demikian juga tempat tinggal setelah menikah pada orang Dayak lebih bersifat bebas memilih dan tidak terikat. Sistem perkawinan pada dasarnya menganut sistem perkawinan eleotherogami dan tidak mengenal larangan atau keharusan sebagaimana pada sistem endogami atau eksogami, kecuali karena hubungan darah terdekat baik dalam keturunan garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketujuh. 
Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan, misalnya berburu, berladang, berkebun mereka pergi ke hutan. Mata pencaharian yang berorientasi pada hutan tersebut telah berlangsung selama berabad-abad, dan ternyata berpengaruh terhadap kultur orang Dayak. Misalnya rumah panjang yang masih asli seluruhnya dibuat dari kayu yang diambil dari hutan, demikian juga halnya dengan sampan-sampan kecil yang dibuat dengan teknologi sederhana yaitu dengan cara mengeruk batang pohon, peralatan kerja seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, perisai dan sumpit semuanya (paling tidak sebagian) bahan-bahannya berasal dari hutan.
Kesenian seperti seni tari, seni suara, seni ukir, seni lukis orang Dayak merupakan salah satu aspek dari kebudayaan Dayak yang memiliki bentuk dan ciri-ciri khas pada tiap-tiap sub suku Dayak. Walaupun demikian, pada hampir semua sub suku Dayak memiliki ciri-ciri dasar yang sama atau mirip, hal ini menandakan bahwa terdapat hubungan kekarabatan pada masa lampau.

Tapi sekarang budaya seperti itu mulai terkikis oleh pesatnya perkembangan zaman...
Bahkan adat istiadat mulai dilupakan...         

Dan sekarang untuk di wilayang Ketapang sendiri sudah bisa di sebut dengan budaya multikultural, maksudnya di Ketapang bukan hanya orang Melayu dan Dayak yang tinggal dan menetap di ketapang tetapi juga banyak suku-suku lain yang tinggal di sana diantaranya ada Madura, Jawa, Batak, Bugis, dan bnyak lagi. Bule juga ada hahahaha.

No comments:

Post a Comment

Pages